Saat ini, angka prevalensi stunting masih di atas 40 persen. Sementara angka nasional masih di 27,6 persen target pemerintah di tahun 2024 bisa turun menjadi 14 persen.
Berdasarkan Laporan Global Nutrition Report 2016 mencatat bahwa prevalensi stunting di Indonesia berada pada peringkat 108 dari 132 negara.
Keberhasilan kerjasama lintas sektoral ini terlihat pada keberhasilan Kabupaten Malang menurunkan prevalensi stunting menjadi 10,9 persen pada Februari 2021
Survei Status Gizi Indonesia tahun 2019 Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Sulawesi Barat prevalensi stuntingnya masih diatas 40 persen, tertinggi di Indonesia.
Selain prevalensi stunting, Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebut terdapat dua tantangan lainnya yakni peningkatan kasus penyakit degeneratif seperti stroke, jantung, kanker, dan diabetes, serta tingginya prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia.
Peran bidan yang berada di wilayah dengan prevalensi stuntingnya tinggi, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Barat (Sulbar) jauh lebih besar.
Balita atau Baduta yang akan dievaluasi sebagai balita stunting dan tidak stunting di pertahanan tahun 2024 adalah mereka yang lahir di pertengahan Juli 2019 sampai yang lahir di akhir Juli tahun 2024.
Inovasi revolusioner yang masif, serentak, dan cepat sangat diperlukan dalam menurunkan angka prevalensi stunting hingga 14 persen.
Masalah stunting ini bukan masalah sepele. Terlebih, di Indonesia angka prevalensi stunting masih cukup tinggi, yakni 27,67 persen.
Jawa Timur mempunya empat kabupaten dengan kategori merah atau prevalensinya di atas 30 persen, yakni Bangkalan, Pamekasan, Bondowoso, dan Lumajang.